Webinar Hari Santri dan Hari Sumpah Pemuda PCINU Jepang : Pentingnya Pendidikan yang Terstandarisasi, Rasa Percaya Diri, dan Kesabaran Agar Menjadi Santri yang Berkualitas dan Terdepan
Jepang-Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam), Pengurus Cabang Istimewa (PCI) Nahdlatul Ulama (NU) Jepang mengadakan diskusi publik secara daring dalam rangka memperingati hari santri dan hari sumpah pemuda 2021, Jumat (29/10).
Webinar yang bertema “Meneladani Kaum Santri sebagai Penjaga Tradisi Nasional, Berwawasan Global, dan Berkiprah Internasional“, menghadirkan pembicara Nadirsyah Hosen, Dosen senior di Monash University sekaligus Rais syuriah PCINU Australia-New Zealend, dan Muhammad Aziz, Associate Professor di University of Tokyo, sekaligus Mustasyar PCINU Jepang.
Duta Besar Republik Indonesia (Dubes RI) untuk Jepang, sekaligus Mustasyar PCINU Jepang, Heri Akhmadi, dalam sambutannya mengatakan bahwa hari santri diharapkan menjadi pemicu semangat dalam menjaga tradisi luhur bangsa Indonesia. “Semangat hari santri yang sejalan dengan semangat hari sumpah pemuda diperlukan untuk mengisi kemerdekan Indonesia dengan kegiatan yang bermanfaat dan berguna“, papar Heri Akhmadi. Dubes RI juga mengatakan bahwa penting untuk para santri untuk terus meningkatkan kapasitas diri, hal itu sejalan dengan perkembangan dunia internasional, agar para santri memiliki wawasan global tanpa meninggalkan tradisi nasional yang selama ini dijaga dan menjadi identitas Indonesia.
Pembicara pertama, Nadirsyah Hosen atau lebih dikenal dengan Gus Nadir memaparkan bahwa Sebelum tahun 70-an pendidikan pesantren NU di Indonesia belum terstandarisasi, sehingga Intelektual NU dapat dikatakan sempat tertinggal 20 tahun. “Tahun1970-an kaum modernis sudah banyak mengirimkan anak muda untuk mengenyam pendidikan tinggi dengan berkuliah di kampus kampus nasional. Sebaliknya, kalangan pesantren NU masih banyak yang menganggap bahwa sekolah umum itu haram dan hanya mementingkan sekolah agama“, sahut Gus Nadir. Baru sekitar tahun 1990-an, banyak kaum pesantren yang mulai mengikuti sekolah umum, dan baru pada tahun 2010 dan 2020-an muncul banyak Intelektual NU. Sehingga poin utamanya adalah pentingnya pendidikan yang terstandarisasi. Di akhir materi, Gus Nadir menegaskan bahwa salah satu yang harus dilakukan kaum santri muda menjelang satu abad NU, antara lain adalah meningkatkan pemikiran wawasan global, menerapkan taswirul afkar (kebangkitan pemikiran), nahdlatut tujjar (pergerakan ekonomi), dan komite hijaz (kiprah di luar negeri).
Hal senada disampaikan oleh pembicara kedua, Muhammad Aziz atau yang sering disapa Prof. Aziz, yang mengatakan bahwa standarisasi Pendidikan merupakan suatu hal yang penting, standardisasi seharusnya dapat menjadi syarat minimal yang harus dicapai bukan ekedar menjadi target yang harus dipenuhi. Hal lain yang disampaikan oleh Ketua Ikatan Ilmuwan Internasional adalah Santri memiliki karakter dan sebagai identitas yang menempel pada diri kita. Santri juga memiliki nilai sejarah yang kuat, namun kadang santri yang berasal dari daerah, kemudian berkiprah di luar kadang merasa tidak percaya diri. “Perasaan kurang percaya diri dan kesulitan pasti ada, tetapi bagaimana kita coba untuk menyelesaikan rasa tidak percaya diri, bagaimana kita menghadapi kesulitan, apakah secara pasif dan diam atau aktif kedepan menjadikan kesulitan sebagai tantangan“, sahut Prof. Aziz . Di akhir materi, Prof. Aziz berpesan bahwa ketika santri go internasional harus bisa memanfaatkan momentum dan terus belajar. “Belajar, bekerja, dan bereksperiens, semuanya butuh kesabaran. Jika kita punya waktu, punya keinginan, semua dapat dicapai asal sabar. Untuk menjadi yang terdepan kita harus belajar sampai menjadi ahli sehingga dapat melakukan sesuatu yang bermanfaat“, papar Prof. Aziz.
Kontributor : Ardhiani