Cahaya Islam di Negeri Sakura: Menjaga Iman di Tengah Minoritas

IMG-20240419-WA0123

Dok: MWCINU Fukuoka

Bagi sebagian diaspora muslim di Jepang, menjaga ibadah bukan sekedar rutinitas, tapi perjuangan. Ada yang rela menempuh perjalanan jauh tiap pekan, menyimpan kerinduan akan suara adzan, dan tetap berpegang pada iman dalam lingkungan yang nyaris asing.

Berdakwah di negeri mayoritas Muslim mungkin seperti menyalakan lilin di siang hari. Namun di negeri minoritas seperti Jepang, satu lilin kecil bisa menjadi terang yang berarti.

Menjalani kehidupan sebagai Muslim di Jepang bukan sekadar mempertahankan identitas, tetapi juga menyampaikan nilai-nilai Islam secara halus dan penuh hikmah. Islam yang dihayati bukan hanya dalam syariat, tetapi tercermin dalam kebersihan, kedisiplinan, kejujuran, dan kepedulian terhadap sesama.

Tidak ada suara adzan yang menggema dari masjid. Jumlah Muslim sangat terbatas, dan banyak warga Jepang bahkan belum pernah bertemu langsung dengan pemeluk Islam. Di sinilah letak keistimewaannya: dakwah tidak disampaikan melalui mimbar atau pengeras suara, melainkan lewat akhlak, konsistensi, dan keteladanan.

Masyarakat Jepang dikenal sangat menjunjung tinggi nilai kesopanan, ketepatan waktu, dan etos kerja yang tinggi. Nilai-nilai ini sebenarnya selaras dengan ajaran Islam. Maka Islam di negeri ini hadir bukan sebagai sesuatu yang mengganggu, melainkan sebagai anugerah yang menenangkan.

Dakwah kerap dimulai dari percakapan kecil:

 “Mengapa tidak makan daging ini?”

 “Apa itu Ramadan?”

 “Mengapa mengenakan kerudung?”

Pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti itu membuka pintu untuk menjelaskan Islam secara damai dan jujur. Ketertarikan sering kali tumbuh bukan karena argumen, tapi karena sikap.

Di kota seperti Sagamihara atau bahkan di kota lainnya, sebagian Muslim harus menunggu hari libur untuk dapat menunaikan shalat Jumat, atau sholat hari raya baik hari raya idul fitri maupun idul adha. Masjid terdekat dapat berjarak hingga satu jam perjalanan atau lebih. Perjalanan jauh, penyesuaian jadwal, dan keterbatasan waktu menjadi tantangan rutin. Namun, semangat untuk menunaikan kewajiban tetap menyala.

Sebagaimana Allah berfirman:

وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَاۗ وَاِنَّ اللّٰهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ ࣖ

“Orang-orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk (mencari keridaan) Kami benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Sesungguhnya Allah benar-benar bersama orang-orang yang berbuat kebaikan”. (QS. Al-‘Ankabut: 69)

Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, pakar fiqih dan tafsir negeri Suriah dalam tafsirnya Al-Wajiz menjelaskan ayat tersebut bahwa “Orang-orang yang berjihad dalam kebenaran Kami untuk menyebarkan dakwah Kami, maka sungguh Kami akan menunjukkan mereka kepada jalan kebaikan dan ridha Allah. Sesungguhnya Allah itu bersama orang-orang yang memperbaiki amal mereka dengan menolong mereka di dunia dan memberi mereka pahala di akhirat”.

Nabi Muhammad SAW juga bersabda:

 “Barangsiapa berjalan untuk menunaikan shalat wajib dalam keadaan suci, maka setiap langkahnya dicatat sebagai satu pahala, menghapus satu dosa, dan mengangkat satu derajat.”

 (HR. Ahmad, Ibnu Majah)

Inilah yang menjadi penguat semangat dalam keheningan. Di negeri asing yang mayoritas penduduknya bukan Muslim, semangat dakwah tetap bisa tumbuh dalam bentuk yang paling sederhana yaitu keteladanan.

Menjadi Muslim di negara minoritas bukan hanya tentang mempertahankan ibadah, tetapi juga tentang membawa rahmat, menyebar kebaikan, dan menjadi wakil dari wajah Islam yang menentramkan. Islam bisa hadir tanpa bendera, tanpa simbol mencolok, dan tetap menebar nilai-nilai yang luhur.

Hidup di negeri orang berarti membawa banyak identitas sekaligus -sebagai pribadi, sebagai anak bangsa, dan sebagai wakil dari umat Islam. Setiap tindakan mencerminkan bukan hanya diri sendiri, tetapi juga orang tua yang membesarkan, bangsa yang melahirkan, dan agama yang diyakini.

Itulah sebabnya, penting untuk menjaga sikap, ucapan, dan perilaku. Di mata orang lain, satu kesalahan bisa mencoreng banyak nama yang tidak ikut bersalah. Maka, menjadi teladan dalam kebaikan bukan hanya menjadi pilihan — tetapi juga tanggung jawab moral.

Islam di negeri minoritas mungkin tidak terlihat dari jumlah, tetapi bisa sangat terasa dari sikap. Dan dari situlah cahaya itu menyebar.

Kontributor: Muhammad Ahya