Low Profile, High Income: Nasihat Ekonomi dan Pendidikan dari Alissa Wahid untuk Diaspora di Jepang

1

Dialog Bersama Ning Alissa Wahid

Ketua Bidang Kesejahteraan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Alissa Qotrunnada Wahid, menyoroti tantangan yang dihadapi diaspora Indonesia di Jepang, khususnya dalam hal pengelolaan keuangan. Meskipun memiliki penghasilan besar saat berada di luar negeri, tidak sedikit yang mengalami kesulitan ekonomi setelah kembali ke tanah air. Penyebab utamanya adalah kurangnya keterampilan dalam merencanakan dan mengelola keuangan pribadi maupun keluarga.

Pernyataan ini disampaikan dalam Dialog Ramadhan yang diselenggarakan oleh PCINU Jepang di Masjid Nusantara Akihabara pada Sabtu, 1 Maret 2025. Acara ini menghadirkan Alissa Wahid sebagai narasumber, dan dihadiri diaspora Indonesia dari berbagai latar belakang, termasuk mahasiswa dan pekerja migran.

Materi dari Ketua PCINU Jepang, Achmad Gazali, Ph.D

Ketua PCINU Jepang, Achmad Gazali, sebelumnya menyampaikan bahwa mahasiswa dan pekerja Indonesia di Jepang memiliki keunggulan yang saling melengkapi. Oleh karena itu, menurutnya, penting bagi diaspora Indonesia untuk mengambil peran aktif dalam membangun masa depan bangsa.

Dalam materinya, Ning Lissa, demikian panggilan akrab Alissa Wahid, menyampaikan bahwa ekonomi dan pendidikan adalah dua hal yang bertalian erat.

“Ekonomi dan pendidikan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Pendidikan merupakan jalan menuju mobilitas vertikal. Dari sekitar 130.000 diaspora Indonesia di Jepang sebagaimana yang saya dengar tadi, sebagian besar adalah pekerja yang tidak sedang menempuh pendidikan, melainkan sedang mencari nafkah. Ini tentu menghadirkan tantangan tersendiri,” ujar Alissa Wahid.

Tantangan Kelas Menengah: Gaji Naik yang Tidak Diimbangi Ilmu Mengelola Keuangan

Ning Lissa memaparkan bahwa banyak masyarakat kelas menengah yang terjebak dalam gaya hidup konsumtif. Penghasilan meningkat, tetapi pengetahuan dan keterampilan mengelola keuangan tidak ikut berkembang. Akibatnya, pengeluaran membengkak bahkan untuk hal-hal yang tidak perlu. Bahkan, sebagian ada yang terjerumus dalam pinjaman online.

“Banyak sekali warga Indonesia yang bekerja di luar negeri, saat pulang justru ekonominya melemah lagi. Padahal penghasilannya besar waktu bekerja di luar negeri. Ini karena ilmu mengelola pengeluarannya tidak meningkat. Jadi. bukan soal penghasilannya, tapi soal ilmunya,” papar Koordinator Jaringan GUSDURian ini.

Moderator diskusi Dina Faoziah dan Pemateri Alissa Wahid

Dalam acara yang diselenggarakan dalam rangka memahami ekonomi dan pendidikan berdaya untuk kesejahteraan diaspora Indonesia di Jepang itu, Alissa Wahid juga memperkenalkan Program Berkah Keuangan Keluarga, bagian dari program-program Gerakan Keluarga Maslahat NU, yang bertujuan untuk mengajarkan perencanaan keuangan dan cara menyusun tujuan finansial keluarga untuk jangka panjang.

Alissa menjelaskan bahwa secara umum ada empat cara memperoleh penghasilan:

  1. Menjadi karyawan, di mana seseorang menjual waktu dan keterampilannya untuk mendapatkan penghasilan.
  2. Mempekerjakan diri sendiri, seperti dokter atau profesional yang memiliki keahlian khusus dan bekerja secara mandiri.
  3. Membangun bisnis, yang membutuhkan keahlian, waktu, dan modal, serta bisa berjalan tanpa kehadiran langsung pemilik secara terus-menerus..
  4. Investasi, untuk mendapatkan keuntungan jangka panjang.

“Investasi yang paling mudah adalah tabungan emas. Nilainya selalu naik, sementara uang tunai yang disimpan nilainya akan berkurang karena ada inflasi. Jika hanya mengandalkan pekerjaan tanpa investasi, maka masa depan finansial bisa tidak aman,” tambah Ning Lissa.

Kunci Investasi Jangka Panjang Ada di Pendidikan

Selain membahas aspek ekonomi, acara ini juga menggarisbawahi pentingnya pendidikan bagi diaspora Indonesia di Jepang. Menurut Ning Lissa, pendidikan di Jepang memiliki kualitas yang sangat baik, terutama dalam membangun karakter.

“Bagi warga Indonesia yang bekerja atau menempuh pendidikan di Jepang, ini adalah kesempatan berharga. Pendidikan tidak hanya untuk anak-anak, tetapi juga bagi orang tua agar mereka terus meningkatkan kapasitas diri,” ungkapnya.

Alissa juga mengingatkan bahwa dalam tradisi NU, ada lima prinsip utama dalam pengasuhan anak:

  1. Fitrah, bahwa setiap anak punya fitrahnya masing-masing dan harus kita dihargai dan dikembangkan.
  2. Rahmah, bahwa pengasuhan harus dilandasi kasih sayang.
  3. Maslahah, bahwa segala yang dilakukan harus bertujuan untuk kebaikan bersama.
  4. Masuliyah, bahwa tanggung jawab utama dalam mendidik anak tetap ada pada orang tua, bukan hanya pada guru.
  5. Uswatun hasanah, bahwa orang tua harus menjadi teladan bagi anak-anak mereka.
Cak Yuanas, petani sukses di Jepang

Low Profile, High Income sebagai Sikap Bijak Diaspora

Cak Yuanas, seorang warga Nahdliyin yang juga merupakan petani sukses di Jepang, turut hadir dalam acara tersebut. Ia mengajak diaspora untuk tetap rendah hati dan bijak dalam mengelola keuangan.

“Ayo kita bersama-sama membangun NU di Jepang. Orang Indonesia itu punya kecenderungan suka ikut-ikutan, gampang kaget, dan senang dilihat ‘wah’ dari luar. Kita harus belajar rendah hati, ‘low profile’ saja. Ikutilah didikan dari guru dan orang tua kita,” pesannya.Senada dengan itu, Alissa Wahid juga mengajak seluruh peserta untuk membangun NU di Jepang dengan mengikuti prinsip yang diajarkan oleh para guru. “Tinggalkan cara berpikir ‘high profile, low income’. Ubah mindset menjadi ‘low profile, high income’,” pungkasnya.

Kontributor: Zayyin Mukmila
Editor: Dina Faoziah