Sinergi Halal Indonesia-Jepang: PCINU Jepang Diimbau Bentuk Badan Halal

Lembaga Kajian Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Nahdlatul Ulama (NU), Fatayat NU, dan Muslimat NU Jepang mengadakan acara webinar Cerdas Bersama 2 tentang Badan Halal sebagai Media Khidmah Jam’iyyah Menjaga Iman dengan pemateri Kyai Ma’ruf Khozin, Profesor Satomi Ohgata, dan Prof. H. Muhammad Luthfi Zuhdi, M.A., Ph.D. pada Ahad, 24 Maret 2024 menjelang berbuka secara daring di platform Zoom.

Profesor Satomi Ohgata memaparkan bahwa masalah halal di Jepang adalah masalah orang Indonesia karena WNI merupakan penduduk muslim terbesar di Jepang. Oleh karena itu, masalah halal di Jepang harus diselesaikan dengan bekerja sama dengan orang Indonesia, tambahnya.

“Jadi masalah halal di Jepang bukanlah masalah orang Jepang, tapi masalah orang Indonesia karena merekalah muslim terbanyak di Jepang. Oleh karena itu, harus diselesaikan dengan kerja sama (bersama) orang Indonesia,” ungkap pengajar di Universitas Kyushu yang memberikan materi tentang pentingnya badan halal di Jepang ini.

Profesor sekaligus peneliti halal di Jepang itu juga memaparkan bahwa masalah halal di Jepang yang dihadapi muslim di Jepang berasal dari orang Indonesia dengan persentase paling tinggi 30%, disusul orang Pakistan 10%, dan Bangladesh 9%.  Beliau melanjutkan bahwa saat ini kita menghadapi masalah standar halal yang berbeda di setiap negara, biaya sertifikasi yang mahal, dan kesalahpahaman produk haram. Hal-hal ini mendorong perlunya pendirian badan halal di Jepang sebagai solusi untuk mengatasi masalah tersebut.

Sebelumnya, Ketua Tanfidziyah PCINU Jepang, Achmad Gazali menyampaikan bahwa acara yang diadakan ini merupakan kelanjutan pertemuan dari diskusi tentang badan halal bersama Profesor Nurchasanah Satomi Ohgata yang dilakukan di Masjid Nusantara Jepang. Beliau saat itu mengharapkan bahwa PCINU Jepang dapat membuat badan halal untuk mempermudah kaum muslimin di Jepang mencari makanan halal. Diskusi itu mengungkapkan salah satu tantangan makanan halal di Jepang adalah biaya mewujudkan sertifikasi halal yang mahal dan masih banyaknya kaum muslimin kesusahan mencari makanan halal.

Beliau juga berharap pemateri yang hadir dapat memberikan materi tentang mewujudkan badan halal sebagai media khidmah jam’iyyah menjaga iman sesuai dengan tema sehingga dapat memberikan sumbangsih dan kontribusi dalam menjaga keimanan dengan perantara makanan halal.

“Dengan membuat badan halal, PCINU akan dapat memberikan sumbangsih kepada umat untuk bisa berkontribusi dalam menjaga iman kita, mengingat makanan halal juga berperan dalam keimanan kita,” ujarnya.

Menanggapi harapan Ketua Tanfidziyah itu, Kyai Ma’ruf Khozin menyampaikan bahwa umat muslim yang tinggal di negara minoritas tidak perlu melihat proses, melainkan cukup melihat unsur untuk dikonsumsi.

“Di negara Jepang, misalnya, panjenengan boleh berikhtiyar untuk berhati-hati, boleh ikut standar fiqh tidak perlu melihat proses, yang penting tidak ada unsur haramnya, maka boleh dikonsumsi,” ungkapnya saat memberikan materi tentang pendapat pakar mengenai produk meragukan yang dikonsumsi sehari-hari.

“Misalnya, minyak goreng yang dipakai harus halal, tapi pancinya boleh hanya dicuci,” katanya.

Selanjutnya, Prof. H. Muhammad Luthfi Zuhdi, M.A., Ph.D. dari Universitas Indonesia memberikan materi tentang langkah-langkah mendirikan badan halal di luar negeri, khususnya Jepang dengan cara mengikuti petunjuk dari Lembaga Halal Luar Negeri (LHLN). Guru Besar Ilmu Sosial tersebut juga mengatakan bahwa saat ini baru terdapat standar halal antar-negara, tetapi belum ada standar global keputusan halal. Beliau mengungkapkan akan sangat baik jika banyak negara yang menjalin kerja sama semacam itu.

Solusi yang ditawarkan Profesor Luthfi kepada PCINU Jepang sebelum membentuk badan halal di Jepang adalah dengan mengidentifikasi bahan makanan dan mengajukan ke Bahtsul Masail tentang makanan halal di negara minoritas serta memberikan dua model keputusan, yakni keputusan halal di Indonesia dan keputusan halal di negara minoritas muslim seperti Jepang. 

“Mengenai solusi batas minimal dan toleransi halal atau tidak, teman-teman PCINU (dapat) mengidentifikasi bahan makanan yang menjadi makanan umum yang masih diperdebatkan, lalu diajukan ke Bahtsul Masail pusat. Lalu, keputusan Bahtsul Masail tersebut akan menjadi keputusan badan halal MUI dan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH),” pungkasnya.

Klik disini untuk menonton webinar secara lengkap.

Kontributor: Zayyin