Ngabuburit ala Fatayat NU Jepang, Bahas Kitab Karya Imam Ghazali

Pengurus Cabang Istimewa (PCI) Fatayat NU Jepang menyelenggarakan agenda Spesial Ramadhan, yaitu pembahasan Kitab Bidayatul Hidayah karya Imam Ghazali, setiap hari Jumat pukul 15.30-16.30 JST selama Ramadhan, atau agenda menunggu berbuka (ngabuburit). Kegiatan dilaksanakan secara daring melalui Zoom meeting dan siaran langsung melalui Instagram Fatayat NU Jepang. 

Terdapat dua pemateri dalam pembahasan kitab tersebut yaitu: 1. Ustadzah Khadijah Lady Lc, pada pertemuan pertama dan 2. Ustadzah Nyimas Ma’rifatillah BS, pada pertemuan kedua hingga keempat. Dalam pertemuan pertama (15/3), Khadijah memaparkan penjelasan biografi Imam Al Ghazali dan amalan puasa Ramadhan. Secara singkat, nama lengkap Imam Al Ghazali adalah Muhammad bin Ahmad al Ghazali, lahir 450 H di kota Al Ghazal, dan merupakan anak seorang pemintal wol. Ayah Imam al Ghazali merupakan seorang yang sholih dan wara’ dalam bertindak, ia bernadzar anak-anaknya menjadi ulama dan wali. Sebelum meninggal, ia menitipkan al Ghazali pada temannya yang sufi dengan berpesan, Jadikanlah anakku orang yang ‘alim.” Kemudian, terkait amalan puasa Ramadhan, Khadijah menyampaikan syarat wajib berpuasa, hal wajib untuk melakukan puasa, dan perkara yang membatalkan puasa. 

Pada pertemuan kedua, pemateri berganti menjadi Ustadzah Nyimas yang memaparkan latar belakang penulisan kitab Bidayatul Hidayah sebelum membahas isi kitab. “Imam Al Ghazali menulis kitab ini untuk ditujukan pada koleganya, seorang sufi yang juga seorang alim, dengan tujuan saling menasehati dalam kebaikan, sehingga banyak materi dalam kitab ini membahas tentang adab dan etika. Kitab ini perlu dibahas sebelum kita ingin mempelajari kitab beliau yang paling tersohor, Ihya Ulumuddin.” Pertemuan kedua hingga keempat membahas Bagian Kedua dari Kitab Bidayatul Hidayah yaitu Menghindari Maksiat, yaitu menjauhkan tujuh anggota badan dari maksiyat meliputi mata, telinga, lidah, perut, kemaluan, tangan, dan kaki.

Pada pertemuan kedua (22/03), Nyimas memaparkan terkait Adab Mata, Adab Telinga, Adab Lisan. Beliau memaparkan bahwa agama Islam terdiri atas dua bagian, yaitu meninggalkan apa yang dilarang dan melakukan amal ketaatan. Meninggalkan apa yang dilarang jauh lebih sulit karena melakukan amal ketaatan dapat di­lakukan setiap orang, sedangkan meninggalkan syahwat hanya bisa diwujudkan oleh mereka yang tergolong shid­diqun, lanjutnya. Peliharalah matamu itu dari empat hal, yakni melihat yang bukan mahramnya, melihat gambar dengan syahwat, melihat seorang muslim dengan pandangan meremehkan, serta melihat aib seorang muslim. Adab pada telinga antara lain tidak mendengar bidah, gibah, perkataan keji, takut pada kebatilan, atau kejelekan orang. Lidah merupakan anggota badan yang paling dominan yang dapat menceburkan manusia ke dalam api neraka, lanjutnya. 

Pembahasan kemudian dilanjutkan pada pekan selanjutnya (29/03), Nyimas masih membahas mengenai adab lisan. “Apa yang keluar dari lisan, itulah cerminan diri sendiri. Terdapat  delapan perkara yang dapat merusak lisan yang perlu kita jauhi yaitu bohong, ingkar janji, ghibah (gosip), debat (jidal wal munaqasyah), menganggap suci diri sendiri, mencela ciptaan Allah, mendoakan buruk orang lain (menyumpah), dan menghina orang,” papar Nyimas. Pada pertemuan ini Nyimas menekankan terkait adab berdebat menghindari menyakiti lawan bicara dan mencela dalam berdebat, dan sebisa mungkin menghindari perdebatan yang tidak penting. Pembahasan pada pertemuan ketiga dilanjutkan mengenai Adab Perut, Adab Kemaluan, Adab Tangan dan Adab Kaki. Pembahasan akan dilanjutkan pada pertemuan terakhir (5/04), yang akan membahas terkait bab Maksiat Hati. 

Kontributor: Lina